Menangani Kegagalan
Narinder Kumar adalah seorang anak lelaki yg sangat cerdas. Dia selalu mendapat nilai 100 % dalam Sains. Ia dipilih untuk IIT Madras dan mendapat skor yg sangat baik. Ia melanjutkan ke University of California untuk kuliah MBA.
Kemudian ia bekerja di Amerika dengan gaji yg tinggi dan menetap di sana. Ia menikah degan Gadis Tamil yg cantik dan membeli rumah besar dengan 5 kamar dan mobil mewah. Dia telah memiliki segalanya berkat kesuksesannya tersebut.
Beberapa tahun kemudian ternyata dia bunuh diri setelah menembak isteri dan anak-anaknya. Jadi, apa yg salah dengan dia ?
Institut Psikologi Klinis California mempelajari kasusnya dan menemukan "apa yg salah" dalam kasus tersebut. Peneliti bertemu dengan teman-teman maupun keluarganya dan menemukan bahwa dia kehilangan pekerjaan karena krisis ekonomi Amerika, sehingga dia harus menganggur untuk waktu yg lama.
Bahkan setelah mengurangi jumlah gaji sebelumnya, dia tidak mendapatkan pekerjaan apa pun. Kemudian angsuran rumahnya tidak lagi terbayar dan dia beserta keluarganya kehilangan rumahnya.
Dia dan keluarganya bertahan beberapa bulan degan uang yg tinggal sedikit dan kemudian dia dan isterinya bersama-sama memutuskan untuk bunuh diri.
Pertama-tama dia menembak isteri dan anak-anaknya, lalu menembak dirinya sendiri.
Kasus tersebut menyimpulkan bahwa : pria yg sangat cerdas itu telah diprogram oleh orang-tua dan lingkungan pendidikannya untuk mencapai kesuksesan, tetapi dia tidak dilatih untuk menangani kegagalan.
Teddy Hidayat ( dokter Spesialis Kedokteran Jiwa ), pernah mengemukakan tentang survei yg dilakukan terhadap mahasiswa semester satu di kota Bandung yg menghasilkan kesimpulan : 30.5 % mahasiswa mengalami depresi, 20 % berpikir serius untuk bunuh diri, dan 6 % telah mencoba bunuh diri dengan cara cutting, loncat dari ketinggian, dan gantung diri.
Jika hasil survei tersebut bisa dianggap valid, kenyataan tersebut sungguh memprihatinkan, sekaligus mengkhawatirkan ... ! Di balik gemerlapnya materi kehidupan kota besar, ternyata terdapat aspek kejiwaan yg selama ini mungkin telah terabaikan ...
Begitu banyak orang-tua dan institusi pendidikan hanya mengajarkan anak untuk menjadi orang yg sukses, tetapi tidak mempersiapkan mereka cara menangani kegagalan dan mengajarkan kepada anak2 pelajaran yg benar tentang realitas kehidupan.
Bahkan ada orang-tua yg tidak menginginkan anaknya terlibat dalam kesulitan / masalah, sehingga selalu difasiltasi dan dibantu agar bisa terhindar dari kegagalan atau penderitaan. Padahal realitas kehidupan tidak selalu diwarnai dengan "tawa", namun juga "tangis". Selagi orang-tua masih mampu membantu, mungkin hal itu tidak menjadi masalah. Tetapi apakah orang-tua akan selamanya bisa mendampingi dan membantu anaknya ?
Orang-tua yg bijak akan mengajarkan pengetahuan tentang kehidupan sesuai dengan realitas yg ada. Di samping knowledge & skill sesuai dengan passion dan tahapan usia mereka, lebih dari itu anak2 sangat memerlukan pendidikan attitude pada usia emasnya ( 3 - 13 tahun ) agar dapat terbentuk karakter positif untuk bekal hidupnya di kemudian hari.
Selain mempelajari hardskill, anak2 juga harus diperkenalkan pada keberadaan Sang Mahapencipta dan Mahakuasa atas kehidupan ini dengan sifat utamanya Yang Mahawelas-asih. Sejak dini anak2 perlu dilatih untuk terbiasa menangani frustasi, berpikir terbuka, mampu bertahan menghadapi masalah / tantangan, mandiri, kreatif, dan banyak hal lain yg berkaitan dengan softskill.
Jika itu semua telah dilakukan, maka ketika beranjak dewasa, semoga dia mampu menyikapi dengan tepat jika terjadi "krisis" dan menangani kegagalan yg menimpanya, sehingga tidak sampai berujung pada keputusasaan yg berakibat fatal ...
#beranigagal #beranisukses