
Sikap Beijing terhadap Hongkong
Setelah kejatuhan Lehman tahun 2008, Pemerintah Pusat China ( Beijing ) sudah mengusulkan agar dilakukan perubahan kebijakan ekonomi terhadap Hong Kong. Usulan itu menyangkut restruktur ekonomi dan sosial. Tetapi usulan itu terhalang oleh perbedaan sistem antara Hong Kong dan China. Walau Hong kong bagian dari wilayah China, namun konvesi PBB melegitimasi keberadaan Hong Kong sebagai satu negara dua sistem. Hong Kong tetap dengan sistem demokrasinya dan China dengan komunisme nya.
Tapi berlalunya waktu, sejak tahun 2008 ekonomi Hong Kong terus menurun. Sejak tahun 2013, pemerintah pusat China ( Beijing ) harus memberikan subsidi terhadap APBD Hong kong. Kalau tidak, Anggaran akan defisit dan banyak tanggung jawab pemerintah Hong Kong terhadap rakyat tidak bisa di delivery. Desifit itu dari tahun ketahun terus meningkat. Sampai pada titik, Beijing harus menentukan sikap. Apakah subsidi diteruskan tanpa ada perubahan. Ataukah perubahan harus dilakukan. Inilah puncak masalah. Masalah RUU ekstradisi itu hanyalah bagian kecil dari bola salju soal ekonomi dari sejak tahun 2008. Masalah utama, bukan RUU Extradisi tetapi ekonomi yang defisit.
Apa masalah Hong Kong sebenarnya ? 80% ekonomi Hong Kong itu dipicu oleh bisnis property. Sementara bisnis property dikuasai hanya tidak lebih 10 orang saja. Dampaknya terjadi bubble harga property. Yang dirugikan adalah 10 juta rakyat hong kong yang membutuhkan rumah. Kalau tadinya angsuran rumah memenggal 15% dari gaji, tetapi sejak tahun 2008 terus merangkak. Sekarang sudah mencapai 50% lebih dari gaji pokok. Pendapatan Hong Kong, 90% dari jasa perbankan dan logistik. Tetapi untuk jasa perbankan, justru Hong Kong terjebak sebagai financial center untuk pencucian uang. Yang lebih konyol lagi, pencucian uang itu, lebih banyak berasal dari China daratan. Jadi benalu bagi China sendiri.
Sebagai wilayah yang menerapkan konsep welfare states, negara kesejahteraan, Hong Kong dibebani oleh subsidi jaminan sosial yang begitu besar dari tahun ketahun terus bertambah. Sekarang lebih 35% APBD hong kong habis untuk jaminan sosial. Dan yang lebih konyol jaminan sosial itu didapat dari sumber utang kepada pemerintah pusat dan luar negeri. Bagi sistem komunis China, ini jelas konyol. Rakyat China walau hidup dalam sistem komunis sosialis tetapi tidak dimanjakan dengan subsidi. Kok rakyat hong kong enak saja dengan jaminan welfare state. Dan itu hanya karena sistem demokrasi di Hong Kong. Konyol.
China punya cara yang smart dan natural “Bakarlah jerami agar sawah bisa ditanami dan subur.”. Biarlah kekacauan terus terjadi, sampai pada batas Hong Kong secara natural harus berubah sesuai dengan realita, bukan utopia. Kini, benarlah, orang kaya yang menguasai ekonomi Hong Kong hengkang keluar negeri. Harga property jatuh di pasar, dan akan terus jatuh sampai pada batas rakyat mampu membeli dengan harga rasional. Resesi terjadi, China hentikan subsidi, sampai pada batas para elite politik hong kong kehilangan janji utopia, dan rakyat menyadari realitas bahwa subsidi itu tidak bagus secara mental.
Awalnya demo RUU ektradisi di provokasi oleh AS dan Barat, kini setelah RUU itu dibatalkan, aksi demo terus berlangsung. Targetnya adalah pemisahan diri dari China ( separatis). Hanya tunggu ledakan besar, dan saat itulah tentara China yang sudah standby di perbatasan Hong Kong sejak 4 bulan lalu akan masuk Hong Kong, membersihkan semua provokator dan mengembalikan Hong Kong secara utuh ke dalam sistem China. Tidak ada lagi dua negara satu sistem. Konvensi PBB memang membolehkan China melakukan apa saja terhadap Hong Kong kalau ada gerakan separatis. China memang smart dan raja tega untuk sebuah perubahan politik. Sama dengan adanya revolusi kebudayaan.
ERIZELI BANDARO