
Kecukupan Itu Mudah
Cukup, kata singkat ini mudah dikatakan tapi ternyata tidak mudah dilakukan. Kenapa ? Sederhana, cukup itu bukan soal akal tapi soal budi. Bukan karena perhitungan intelektual tapi kepekaan sosial. Bukan jumlah harta jasmani tapi kekayaan rohani.
Itu sebabnya, tidak usah heran melihat orang yang kita rasa semestinya 'kaya' karena dilihat dari hartanya termasuk golongan 1 % dari top elite, tapi ternyata masih merasa kurang sehingga masih mencari cara lain menambah pundi 'kecukupan'nya.
Bahkan, semakin 'menjadi-jadi' ketika melihat koleganya yang semakin punya karena melakukan yang sama.
Akibatnya, ia sudah tidak risi lagi dan lebih memprihatinkan lagi kalau suap dan manipulasi itu dianggap berkah.
Apapun alasannya dan untuk apa tambahan kecukupan itu dialokasikan, menjadi bukti adagium bahwa uang itu air laut yg ganas. Semakin diminum akan semakin haus.
Paradoksnya, semakin tinggi posisi seseorang, semakin terbuka peluang melihat cara mendapatkan kelebihan itu. Hanya sekedar anggukan dan paraf, maka akan ada aliran baru untuk menambah pundi. Tentu tak dapat dipungkiri, ini seperti lingkaran setan, semakin tinggi posisi kebutuhan untuk menjaga reputasi dan mempertahankan kursi juga butuh dana yang tidak sedikit.
Sedih. Marah. Tak percaya. Kalimat itu sering dibarengi elusan dada melihat orang yang seharusnya sudah berlebih dan bisa berbagi ternyata sebenarnya orang 'miskin' yang belum bisa berkata cukup sehingga masih ingin terus mengambil dengan cara yang tidak sepatutnya.
Berita baiknya adalah masih banyak orang yang justru bisa berkata cukup tatkala saya pikir ia kurang.
Sebut saja Mbak Pirang, pengusaha gudeg ini membuat saya sadar bahwa kecukupan itu mudah. Warung gudegnya yang sangat sederhana di pinggiran jalan, dapur dan rumahnya juga masih sederhana, tapi ketika saya menikmatinya di dapur tersebut, aroma dan rasa sungguh menghentakkan air liur. Malam itu walaupun hujan deras, kami memaksakan diri mampir. Makan di emperan kena 'tampyas' hujan tidak membuat kami kecut hati.
Yang lebih menarik lagi, ia tidak takut kami korupsi. Setelah meladeni kami, iapun berangkat untuk menjajakan di warungnya. Kami ditinggal, karena memang kami sudah terlambat, dengan sekaleng krupuk lengkap.
Bagaimana membayarnya ?
Kolega kami, Andy begitu saja ia dipanggil, bilang 'Nanti ia akan info berapa biayanya. Baru saya bayar'. 'Bagaimana ia percaya, kita makan berapa krupuk?', tanya saya. 'Ia percaya apa yg kita katakan', kali ini ia senyum sambil menambah 'Saya punya 'account' khusus dengan Mbak Pirang'. Mbak pirang juga bilang : 'Andy ini sudah jadi 'member'.
'Kok tidak dikembangkan lagi ', pertanyaan klasik ketika melihat peluang. 'Saya sudah sering katakan, tapi ia menjawab - begini saja sudah cukup - jadi sayapun tak bisa memaksa', kali ini Andy serius.
Bukan hanya Mbak Pirang, Mbak Ayem, sebut saja begitu, pedagang makanan oseng oseng mercon di terminal Jogja ini juga lebih unik lagi. Dagangan laris tidak membuatnya berpikir untuk buka cabang atau 'franchise'. Sekali lagi Andy, yg sudah mengenalnya sejak ia mahasiswa 18 tahun lalu, sudah berusaha meyakinkannya untuk ekspansi.
'Mbah, saya sekarang sudah ada modal, mau saya bantu untuk pindah ketempat lain atau buka cabang ?', ceritanya malam itu.
Jawabannya sederhana. 'Saya sudah tua dan sudah cukup dengan yang ada'. Bahkan, lanjutnya, ia mau mengajari cara membuat masakannya dengan resep rahasianya. Semua tuntas dikupas tanpa takut Andy buat resto untuk menyainginya.
Cerita sambil makan gudeg dan krupuk putih kampung semakin membuat nikmat malam itu.
Ternyata kecukupan itu sederhana. Hati yang berlebih membuat arus kebutuhan untuk mengambil lebih jadi berkurang atau bahkan tidak ada.
Itu sebabnya, saya teringat doa Salomo sebagai simbol Raja yang kaya tapi bijak bahwa kaya dan miskin itu bukan besaran kuantitatif dibandingkan orang lain tapi substansi kualitatif buat diri sendiri.
Begini doanya : 'Dua hal aku mohon kepada-Mu, jangan itu Kautolak sebelum aku mati, yakni: Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku. Supaya, kalau aku kenyang, aku tidak menyangkal-Mu dan berkata: Siapa TUHAN itu? Atau, kalau aku miskin, aku mencuri, dan mencemarkan nama Allahku'.
Rupanya, ratusan politisi, aparat dan pengusaha yang terjaring KPK itu belum merasa kaya sehingga harus curang dan bohong, tapi mbak Pirang dan Mbak Ayem, sudah sampai tahap cukup. Tidak miskin dan tidak kaya. Sehingga keduanya bisa menikmati hidup tanpa 'ngoyo' dan 'grusa grusu', tidur nyenyak dan senyum bahagia.
Sabtu malam lalu itu menjadi 'another defining moment' buat saya, bahwa cukup itu ternyata masuk kategori kedalaman spiritual. Makin kenyang rohani kita, makin mudah merasa cukup. Dan kedalaman rohani itu tidak bisa dibalut hanya dengan baju, asesori dan ritual bernuansa rohani tapi karakter nyata tatkala tak ada yang melihat.
Filipi 4:11-12 (TB)
'' Kukatakan ini bukanlah karena kekurangan, sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan.
Aku tahu apa itu kekurangan dan aku tahu apa itu kelimpahan. Dalam segala hal dan dalam segala perkara tidak ada sesuatu yang merupakan rahasia bagiku; baik dalam hal kenyang, maupun dalam hal kelaparan, baik dalam hal kelimpahan maupun dalam hal kekurangan. ''